Senin, 30 Desember 2013

Impor listrik agar Indonesia lebih terang

Jumat, 27 Desember 2013 21:31
Merdeka.com - Indonesia belum berdaulat atas ketahanan energi. Sebagian masyarakat Indonesia masih hidup dalam kegelapan. Padahal listrik merupakan bagian dari infrastruktur dasar yang wajib disediakan pemerintah untuk warga negaranya.
Tidak dipungkiri, penyaluran listrik di sebagian besar wilayah di Indonesia masih belum tertata dengan baik. Jika mengacu data International Energy Agency (IEA) yang berpusat di Amerika, dari 237 juta penduduk Indonesia, 82 juta diantaranya belum mendapat akses kelistrikan.
Sementara data dari Kementerian ESDM, masih ada 20 persen wilayah Indonesia belum teraliri listrik. Dari persentase tersebut, terdapat 12,5 juta Kepala Keluarga (KK) yang belum menikmati listrik.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman menyebutkan, tingkat elektrifikasi tahun ini mencapai 80,1 persen. Meskipun berusaha keras menambah tingkat elektrifikasi, sampai 2020 masih ada daerah di Indonesia yang tak menikmati listrik. "2020 tingkat elektrifikasi akan mencapai 90 persen," jelas Jarman beberapa waktu lalu.
Pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku sulit mengaliri listrik ke daerah terpencil dan perbatasan. Terlebih jika infrastrukturnya belum memadai. Kalaupun bisa dibangun, sulit untuk masuk ke daerah pelosok.
Kondisi itu dijadikan kambing hitam sekaligus alasan masih adanya warga yang hingga kini belum bisa menikmati listrik. Salah satunya di pelosok Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Sebagai solusi, pemerintah mengambil jurus untuk mendatangkan listrik dari negara tetangga, Malaysia. Kebijakan jual beli listrik antar negara telah diatur sebelumnya dalam UU Nomor 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Kebijakan ini juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2012 Tentang Jual Beli Tenaga Listrik Lintas Negara.
Kebijakan itu dicetuskan tahun lalu saat PLN menandatangani kerja sama dengan Serawak Energy Berhad (SEB). Salah satu isinya, Indonesia akan mendatangkan energi listrik dari negeri jiran Malaysia sebesar 50 Mega Watt (MW).
PLN mengaku terpaksa mengimpor listrik dari Malaysia mengingat kebutuhan energi di sebagian wilayah Kalimantan Barat cukup besar. Impor listrik berjangka waktu 5 tahun ini untuk mengganti pembangkit listrik yang menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang biaya pokok produksinya lebih mahal.
Jarman menjelaskan, kerja sama ini terhitung efektif mulai Januari 2014 hingga 2020. Setelah itu, listrik di Kalimantan dan Sumatera akan dipasok dari pembangkit batu bara yang kini masih dalam proses pembangunan. Dengan kata lain, hingga 2020 warga di Kalimantan dan Sumatera akan tergantung pasokan listrik dari Malaysia.
Jarman menjelaskan, impor listrik dari Malaysia harganya lebih murah ketimbang menggunakan listrik dari pembangkit yang sudah ada, yakni berbahan bakar minyak. Jika dilihat dari letak wilayahnya, harga listrik dari Malaysia hanya sekitar Rp 900 per KWh ketimbang pakai Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mencapai Rp 3.000 per KWh.
Menteri BUMN Dahlan Iskan ikut pasang badan soal kebijakan impor listrik dari Malaysia. Impor listrik dilakukan karena sumber listrik Serawak, Malaysia masih berlebih dan bisa dialirkan ke Kalimantan.
"Di Serawak itu ada sumber listrik yang berlebih. Enggak apa-apa kita impor dulu sambil membangun jaringan ke sana," kata Dahlan.
Dalam pandangannya, impor listrik dari Malaysia merupakan cara yang efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat perbatasan. "Kita sambil membangun kan. Sekarang kita impor dari Malaysia karena lebih cepat dan itu sudah ada," singkatnya.
Kebijakan ini mendapat sorotan masyarakat dan DPR. Anggota Komisi VII DPR Ismayatun tidak membantah jika sebagian wilayah Kalimantan memang masih diselimuti kegelapan. Kebijakan impor sejatinya tidak sesuai dengan konsep kedaulatan energi.
"Tapi jika dilihat dari sisi kedaulatan energi, saya tidak setuju (impor)," ungkap Ismayatun.
Untuk jangka pendek, mungkin kebijakan ini bisa diterima. Mengingat kebutuhan energi yang besar di wilayah itu. Apalagi jika harga listrik yang ditawarkan dari pihak Malaysia, termasuk murah karena menggunakan PLTA, sementara di Indonesia masih menggunakan energi minyak. Tapi, untuk jangka panjang perlu sangat diperhatikan. Terlebih jika hubungan Indonesia-Malaysia kembali tidak harmonis.
"Kalau suatu saat misalnya Indonesia konflik dengan Malaysia, lalu mereka hentikan pasokan listrik, harus seperti apa? iya (jangan malu-maluin) bergantung sama negara lain," tegasnya.
Seolah tidak ingin diserang karena kebijakan impor listrik dari Malaysia, Dahlan langsung menyatakan, Indonesia juga menjual listrik ke Malaysia dan Papua New Guinea.
Dahlan mengaku akan mengekspor listrik ke Malaysia dari pembangkit yang ada di Sumatera. Mantan Dirut PLN ini menuturkan, sudah ada perjanjian antara dua negara yang berisi Malaysia bersedia menggunakan listrik dari Indonesia.
"Kita sudah ada perjanjian, nanti dari Sumatera kita ekspor listrik ke Malaysia melalui kabel bawa laut,".
Tidak hanya Malaysia, Dahlan juga akan mengekspor listrik ke Papua New Guinea. Pembangkit listrik yang besar akan dibangun di Malaysia dan kelebihannya akan dikirim ke Papua New Guinea. "Dari Papua nanti kita bisa jual ke Papua New Guinea. Walaupun sekarang kita impor listrik dari Malaysia tapi nanti kita ekspor 3, jadi skornya 3-1," imbuhnya.


Analisis :

Menurut saya, mengapa pemerintah tidak melakukan restrukturisasi  manajemen PLN. Mengapa di Indonesia lebih mahal dibandingkan Malaysia, mungkin pemerintah harus mengoreksi internal PLN. Selain itu masih banyak cara untuk mendapatkan listrik, dengan menggunakan bahan bakar minyak, air, batu bara, dll. Sehingga pemerintah tidak perlu mengimpor listrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar