Senin, 30
Desember 2013 08:03
Merdeka.com
- Setiap tahun, kebutuhan akan rumah tinggal selalu mengalami peningkatan
seiring bertambahnya jumlah penduduk. Selain itu, meningkatnya daya beli
masyarakat juga menjadi faktor pendorong bertumbuhnya permintaan akan rumah
tinggal.
Tetapi,
kedua fakta tersebut ternyata mendapat respons yang berkebalikan. Memiliki
rumah seperti hanya mimpi. Harga rumah cenderung naik, baik pada level rumah
kelas menengah dan atas dengan luasan mulai 70 meter persegi (m2) ke atas
maupun kelas bawah mulai luasan 21 m2 hingga 42 m2. Kondisi ini membuat masyarakat
mengubur dalam-dalam mimpinya memiliki rumah idaman.
"Harga
perumahan di daerah Jabotabek di beberapa tahun belakang telah meningkat tajam.
Di tahun 2012, harga properti telah meningkat sebesar 30 persen," ujar
Chief Executive iProperty Group Shaun Di Gregorio beberapa waktu lalu.
Menurut dia,
kenaikan harga rumah telah mendorong meningkatnya investasi di sektor properti.
Setidaknya iProperty telah menanamkan investasi sebesar USD 10 juta.
Penanaman
investasi di sektor properti ternyata juga dilakukan oleh banyak pihak, mulai
dari pengembang hingga konsumen. Hal ini ternyata dimanfaatkan oleh sejumlah
spekulan untuk mengeruk keuntungan dari sektor properti.
Akibatnya,
harga rumah lambat laun meningkat hingga setinggi langit. Terutama untuk rumah
apartemen kelas menengah dan atas, kenaikan harga yang terjadi sudah sangat
tidak masuk akal.
EVP
Coordinator Consumer Finance Bank Mandiri Tardi menyebutkan, kenaikan harga
rumah bisa mencapai 20 kali lipat per tahun. Dia menyatakan kenaikan ini sudah
masuk kategori bubble yang dapat berbahaya pada perekonomian nasional jika
tidak dapat ditangani.
"Sekarang
kan irasional, beberapa tempat sudah irasional. Kalau harga rumah atau
apartemen melebihi dari 20-25 kali sewa rumah atau apartemen per tahun, itu
sudah gak rasional," terang Tardi.
Tetapi,
Tardi menerangkan, bubble hanya terjadi pada rumah yang masuk kategori menengah
atas. Hal ini diperparah dengan semakin banyaknya pengembang yang lebih suka membangun
rumah kategori menengah dan atas.
"Developer
yang segmen menengah/atas sebagai media spekulasi itu sebagian besar dibeli
dengan cara cash, yang pakai KPR 20 persen, cash bertahap 40 persen, 40 persen
cash keras," terang dia.
Bank
Indonesia (BI) pun merespon kondisi ini dengan mengeluarkan kebijakan berupa
larangan pemberian dana Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk kepemilikan rumah
kedua, ketiga dan seterusnya. Kebijakan ini didasarkan pada survei yang
menyebutkan sebanyak 42,2 persen responden lebih memilih berinvestasi dalam
bentuk rumah tinggal.
"Angka
ini lebih tinggi dibandingkan pilihan investasi lain seperti deposito,
reksadana, dan emas," ujar Asisten Gubernur BI Mulya E. Siregar .
Mulya
mengatakan, banyak orang yang beranggapan berinvestasi dalam bentuk rumah lebih
menjanjikan daripada yang lain. Ini karena harga rumah selalu stabil dan
cenderung naik dan tidak pernah terjadi penurunan.
Hal itu
memicu banyak orang untuk membeli rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Mereka
kemudian mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang sebenarnya tidak
dibutuhkan. Akibatnya, jumlah permintaan KPR membengkak dan semakin banyak
orang yang kesulitan memiliki rumah.
"Ada
sebanyak 13 persen kredit pemilikan apartemen dan rumah digunakan untuk
investasi dan disewakan. Intinya semakin banyak rumah yang dimiliki semakin
besar kemungkinan rumah tersebut tidak ditinggali," terang Mulya.
Jika
dibiarkan, potensi munculnya bubble tidak dapat dihindari. Atas dasar itulah
larangan BI dikeluarkan. Dengan alasan, mencegah terjadinya bubble sekaligus
memberikan kesempatan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah bisa memiliki
rumah.
Ekonom
Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) Wahyoe Soedarmono mengingatkan,
investasi sektor properti harus terus mendapat pengawasan. Sebab, menurut dia,
sektor ini mengandung potensi kredit macet tinggi, yang dapat memunculkan
dampak sistemik pada sektor lain.
"Ini
perlu mendapat perhatian khusus. Sejak Juni 2013 sektor konstruksi adalah
sektor dengan rasio kredit macet paling besar di antara sektor-sektor ekonomi
lainnya," ungkap Wahyoe.
Sektor
properti dapat menjadi salah satu instrumen terciptanya kesenjangan antar
kelas. Meski kondisi perekonomian nasional membaik dan jumlah kelas menengah
masyarakat Indonesia semakin meningkat, namun ketersediaan rumah hanya dapat
dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang masuk kategori ekonomi atas.
Analisis :
Seiring
bertambahnya pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan akan rumah tinggal selalu
mengalami peningkatan. Sekarang ini sektor properti memang sangat menjanjikan,
sehingga banyak orang yang beralih investasi sehingga menyebabkan kenaikan akan
harga rumah. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya segera membuat program
subsidi, agar rakyat menengah kebawah dapat memiliki rumah sesuai kemampuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar