Jumat, 27 Desember 2013 21:31
Merdeka.com - Indonesia belum berdaulat atas ketahanan energi. Sebagian
masyarakat Indonesia masih hidup dalam kegelapan. Padahal listrik merupakan
bagian dari infrastruktur dasar yang wajib disediakan pemerintah untuk warga
negaranya.
Tidak dipungkiri,
penyaluran listrik di sebagian besar wilayah di Indonesia masih belum tertata
dengan baik. Jika mengacu data International Energy Agency (IEA) yang berpusat
di Amerika, dari 237 juta penduduk Indonesia, 82 juta diantaranya belum
mendapat akses kelistrikan.
Sementara data dari
Kementerian ESDM, masih ada 20 persen wilayah Indonesia belum teraliri listrik.
Dari persentase tersebut, terdapat 12,5 juta Kepala Keluarga (KK) yang belum
menikmati listrik.
Dirjen Ketenagalistrikan
Kementerian ESDM Jarman menyebutkan, tingkat elektrifikasi tahun ini mencapai
80,1 persen. Meskipun berusaha keras menambah tingkat elektrifikasi, sampai
2020 masih ada daerah di Indonesia yang tak menikmati listrik. "2020
tingkat elektrifikasi akan mencapai 90 persen," jelas Jarman beberapa
waktu lalu.
Pemerintah dan Perusahaan
Listrik Negara (PLN) mengaku sulit mengaliri listrik ke daerah terpencil dan
perbatasan. Terlebih jika infrastrukturnya belum memadai. Kalaupun bisa
dibangun, sulit untuk masuk ke daerah pelosok.
Kondisi itu dijadikan
kambing hitam sekaligus alasan masih adanya warga yang hingga kini belum bisa
menikmati listrik. Salah satunya di pelosok Kalimantan yang berbatasan langsung
dengan Malaysia.
Sebagai solusi, pemerintah
mengambil jurus untuk mendatangkan listrik dari negara tetangga, Malaysia.
Kebijakan jual beli listrik antar negara telah diatur sebelumnya dalam UU Nomor
30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Kebijakan ini juga tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2012 Tentang Jual Beli Tenaga Listrik
Lintas Negara.
Kebijakan itu dicetuskan
tahun lalu saat PLN menandatangani kerja sama dengan Serawak Energy Berhad
(SEB). Salah satu isinya, Indonesia akan mendatangkan energi listrik dari
negeri jiran Malaysia sebesar 50 Mega Watt (MW).
PLN mengaku terpaksa
mengimpor listrik dari Malaysia mengingat kebutuhan energi di sebagian wilayah
Kalimantan Barat cukup besar. Impor listrik berjangka waktu 5 tahun ini untuk
mengganti pembangkit listrik yang menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang
biaya pokok produksinya lebih mahal.
Jarman menjelaskan, kerja
sama ini terhitung efektif mulai Januari 2014 hingga 2020. Setelah itu, listrik
di Kalimantan dan Sumatera akan dipasok dari pembangkit batu bara yang kini
masih dalam proses pembangunan. Dengan kata lain, hingga 2020 warga di
Kalimantan dan Sumatera akan tergantung pasokan listrik dari Malaysia.
Jarman menjelaskan, impor
listrik dari Malaysia harganya lebih murah ketimbang menggunakan listrik dari
pembangkit yang sudah ada, yakni berbahan bakar minyak. Jika dilihat dari letak
wilayahnya, harga listrik dari Malaysia hanya sekitar Rp 900 per KWh ketimbang
pakai Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mencapai Rp 3.000 per KWh.
Menteri BUMN Dahlan Iskan ikut
pasang badan soal kebijakan impor listrik dari Malaysia. Impor listrik
dilakukan karena sumber listrik Serawak, Malaysia masih berlebih dan bisa
dialirkan ke Kalimantan.
"Di Serawak itu ada
sumber listrik yang berlebih. Enggak apa-apa kita impor dulu sambil membangun
jaringan ke sana," kata Dahlan.
Dalam pandangannya, impor
listrik dari Malaysia merupakan cara yang efektif dan efisien untuk memenuhi
kebutuhan listrik masyarakat perbatasan. "Kita sambil membangun kan.
Sekarang kita impor dari Malaysia karena lebih cepat dan itu sudah ada,"
singkatnya.
Kebijakan ini mendapat sorotan masyarakat dan DPR.
Anggota Komisi VII DPR Ismayatun tidak membantah jika
sebagian wilayah Kalimantan memang masih diselimuti kegelapan. Kebijakan impor
sejatinya tidak sesuai dengan konsep kedaulatan energi.
"Tapi jika dilihat
dari sisi kedaulatan energi, saya tidak setuju (impor)," ungkap Ismayatun.
Untuk jangka pendek,
mungkin kebijakan ini bisa diterima. Mengingat kebutuhan energi yang besar di
wilayah itu. Apalagi jika harga listrik yang ditawarkan dari pihak Malaysia,
termasuk murah karena menggunakan PLTA, sementara di Indonesia masih
menggunakan energi minyak. Tapi, untuk jangka panjang perlu sangat
diperhatikan. Terlebih jika hubungan Indonesia-Malaysia kembali tidak harmonis.
"Kalau suatu saat
misalnya Indonesia konflik dengan Malaysia, lalu mereka hentikan pasokan
listrik, harus seperti apa? iya (jangan malu-maluin) bergantung sama negara
lain," tegasnya.
Seolah tidak ingin diserang
karena kebijakan impor listrik dari Malaysia, Dahlan langsung menyatakan, Indonesia
juga menjual listrik ke Malaysia dan Papua New Guinea.
Dahlan mengaku akan
mengekspor listrik ke Malaysia dari pembangkit yang ada di Sumatera. Mantan
Dirut PLN ini menuturkan, sudah ada perjanjian antara dua negara yang berisi
Malaysia bersedia menggunakan listrik dari Indonesia.
"Kita sudah ada
perjanjian, nanti dari Sumatera kita ekspor listrik ke Malaysia melalui kabel
bawa laut,".
Tidak hanya Malaysia,
Dahlan juga akan mengekspor listrik ke Papua New Guinea. Pembangkit listrik
yang besar akan dibangun di Malaysia dan kelebihannya akan dikirim ke Papua New
Guinea. "Dari Papua nanti kita bisa jual ke Papua New Guinea. Walaupun
sekarang kita impor listrik dari Malaysia tapi nanti kita ekspor 3, jadi
skornya 3-1," imbuhnya.
Analisis :
Menurut saya, mengapa pemerintah tidak melakukan restrukturisasi manajemen PLN. Mengapa di Indonesia lebih
mahal dibandingkan Malaysia, mungkin pemerintah harus mengoreksi internal PLN.
Selain itu masih banyak cara untuk mendapatkan listrik, dengan menggunakan
bahan bakar minyak, air, batu bara, dll. Sehingga pemerintah tidak perlu
mengimpor listrik.